MaREFAT INSTITUTE Bicarakan Paradigma Pancasila dan Kerusakan Ekologi Lingkungan -->

Archive Pages Design$type=blogging$count=7

MaREFAT INSTITUTE Bicarakan Paradigma Pancasila dan Kerusakan Ekologi Lingkungan

BERITAREPUBLIK.COM
03 Juli 2024



Beritarepublik.com, Makassar, Di setiap awal bulan Juni, kita diingatkan pada dua momentum penting, yakni Peringatan Hari Lahir Pancasila tanggal 1 Juni serta Hari Lingkungan Hidup Sedunia 5 Juni.

Adakah kaitan dan hubungan antara kedua momentum tersebut? Itulah yang melatari Ma’REFAT INSTITUTE Sulawesi Selatan untuk membincangkannya, dalam agenda rutinnya Ma’REFAT INFORMAL MEETING (REFORMING) ke-12, yang diselenggarakan di akhir pekan lalu 30 Juni 2024. 

Tema yang disajikan adalah “Memosisikan Paradigma Pancasila Menghadapi Kerusakan Ekologi dan Lingkungan Hidup di Sulawesi Selatan.” Pemantik diskusi yang dihadirkan, yaitu: dua orang Akademisi dari UNHAS, masing-masing Dr. Ir. Rijal M. Idrus, M.Sc (Kepala Puslit Perubahan Iklim UNHAS) dan Dr. Ir. Andi Assir Marimba, M.Sc (Kepala Laboratorium Penangkapan Ikan-Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan UNHAS) serta Muadz Ardin, SP., MP Direktur LINGKAR (Lembaga Inisiasi Lingkungan dan Masyarakat). 

Perbincangan dibuka oleh Arifin, S.AP., M.AP selaku Koordinator Divisi Program dan Pengkajian Ma’REFAT INSTITUTE yang sekaligus sebagai moderator, dengan mengajukan beberapa pertanyaan menggelitik kepada peserta diskusi yang hadir. 

Pertama, pentingkah Pancasila sebagai paradigma dalam pengambilan kebijakan yang berhubungan dengan pengelolaan lingkungan hidup? Kedua, betulkah terdapat krisis ekologis dan lingkungan hidup, khususnya di Sulawesi Selatan? Kemudian, karena lingkungan hidup menjadi salah satu indikator kemajuan, maka mungkinkah Indonesia Emas 2045 akan dicapai seperti digemborkan, sementara kerusakan lingkungan dan ekologis semakin meningkat? 

Dr. Ir. Andi Assir Marimba, M.Sc diberi kesempatan pertama menyampaikan gagasannya. Beliau menuturkan bahwa Pancasila menjadi satu kesyukuran besar. Karena Pancasila telah berhasil mempersatukan kita semua. Selain mempersatukan, Pancasila mengandung nilai keagamaan dan keadilan. Dalam nilai yang terkandung itulah, satu makna utama yang kita pegang teguh sebagai umat beragama adalah manusia menjadi wakil Tuhan untuk menjaga bumi.

Hubungan Pancasila dan Lingkungan Hidup, di mana kita sebagai umat Islam telah ditunjuk oleh Tuhan sebagai Khalifatullah fil Ardh, sebagai pemelihara lingkungan hidup. 

Sebagai manusia, seringkali kita melakukan pengrusakan tanpa kita sadari. Banyak fenomena kerusakan yang terjadi tanpa diketahui apa yang kita lakukan sebenarnya merusak. Di sinilah ilmu pengetahuan menjadi sangat penting menjadi modal untuk bijaksana dalam memelihara lingkungan hidup.Dan penting dipahami bahwa upaya-upaya pemeliharaan lingkungan hidup, memang sangat penting untuk dilakukan secara bertahap meski dalam skala yang kecil.

Kesempatan berikutnya disampaikan Muadz Ardin, SP., MP sebagai perwakilan dari NGO Lingkungan. Ia menyampaikan bahwa Isu lingkungan bukanlah isu yang baru. Telah banyak konferensi-konferensi dalam tingkat global dilaksanakan, tetapi hingga saat ini kerusakan lingkungan hidup masih terus terjadi dengan intensitas yang lebih besar. Lantas, bagaimana posisi Pancasila dalam konteks perbincangan kita? Para pendiri bangsa kita telah bersepakat menjadikan Pancasila sebagai falsafah bernegara. Pancasila sejatinya diambil dari nilai-nilai budaya yang telah melekat di dalam masyarakat. 

Itulah yang kemudian membuat begitu mudah Pancasila diterima. Lalu, dari mana nilai budaya itu hadir? Pada dasarnya bersumber dari: Pertama, nilai-nilai yang diambil langsung dari kitab suci. Kedua, nilai-nilai tradisi. Ketiga, sintesa dari nilai-nilai baru yang dibentuk berdasarkan kontrak sosial.
Berkaitan dengan krisis lingkungan, ini adalah suatu kondisi ketika lingkungan tidak lagi memberi daya dukung bagi kehidupan manusia atau organisme yang lain. Dalam beberapa dekade terakhir, pembangunan lebih berfokus pada pertumbuhan ekonomi perkapita, dengan harapan terjadinya investasi besar yang akan memberi dampak kelompok ekonomi kecil untuk berkembang. 

Sayangnya, yang terjadi justru tidak demikian. Hanya segelintir kelompok atau golongan tertentu yang merasakan manfaat dari pertumbuhan ekonomi, sehingga berdampak pada kesenjangan ekonomi dan sosial. Dapat disimpulkan bahwa paradigma pembangunan kita saat ini. tidak berdasarkan dengan Pancasila sebagai falsafah bernegara.

Pemantik terakhir Dr. Ir. Rijal M. Idrus, M.Sc menyampaikan pemikirannya dengan mengungkapkan bahwa Survey di Indonesia sebagai negara yang paling religius dengan indikator kepercayaan kepada Tuhanyang sangat tinggi, yakni kurang lebih 93 persen. 

Berbeda halnya dengan Jepang, yang hanya menempatkan 10 persen dari masyarakatnya yang percaya pada Tuhan. Namun parahnya, ketika survey terkait judi online keluar, Indonesia menempati posisi tertinggi. Ini memberi gambaran kepada kita bahwa ada masalah antara hubungan manusia dengan Tuhan. Dan tentu saja, berkaitan juga dengan hubungan manusia terhadap alam dan lingkungan hidup.

Salah satu pertanyaan yang beliau lontarkan adalah perusahaan apa yang terkaya sepanjang masa? Jawabannya adalah VOC, perusahaan dagang Belanda yang memiliki kekayaan ditaksir senilai 8,1 triliun dollar. Nilai tersebut setara dengan 10-20 perusahaan kaya untuk menyamai kekayaannya. Ini adalah sebuah fakta sejarah yang berhubungan dengan sejarah negara kita.

Apa pelajaran yang dapat kita ambil?
Umur negara Indonesia ialah 79 tahun. Sementara VOC mencapai kejayaannya pada umur 31 tahun. VOC dan Indonesia beroperasi di wilayah yang sama. 

Namun kenapa, di usia negara Indonesia yang dua kali lipat VOC, belum juga mampu menyamai kekayaan VOC. Itu berarti, ada yang salah dengan pengelolaan Sumber daya alam (SDA) kita. Benar bahwa VOC menjajah banyak tempat, tapi 98 persen kekayaannya bersumber dari bumi nusantara. Tapi pada akhirnya VOC bangkrut karena Korupsi, dan korupsi jugalah yang menjadi sebab dari segala kehancuran, termasuk krisis lingkungan hidup yang kita saksikan hari ini.

Pancasila sejatinya adalah nilai yang sangat ideal. Pembangunan yang baik sejatinya harus memperhatikan 3 aspek utama: pondasi kuat, pilar-pilar yang tegak, ditutup dengan mahkota atap yang indah. Framework Pancasila dilahirkan melalui 3 aspek tersebut.

Selanjutnya, pada sesi diskusi, kesempatan diberikan kepada beberapa peserta untuk mengajukan pertanyaan atau tanggapannya terkait pemaparan para pemantik. Direktur Eksekutif Ma’REFAT INSTITUTE Mohammad Muttaqin Azikin, diminta oleh moderator untuk mengutarakan catatan-catatan kritisnya terkait topik yang dibincangkan. 

Beliau mengatakan bahwa berbagai persoalan negara dan bangsa yang kita hadapi hari-hari ini, memantik tanya, betulkah Pancasila masih kita perlakukan sebagai falsafah dan ideologi negara selama ini? Apakah Pancasila telah kita dudukkan sebagai paradigma dalam pengelolaan negara kita? Karena jika ini tidak dilakukan, berarti pelaksana negara telah melanggar Konstitusi dari negara kita sendiri, NKRI. 

Karena itu, memahami krisis lingkungan, kita tidak bisa melihatnya melalui peristiwa demi peristiwa yang terjadi, tetapi kita perlu menariknya ke hal yang lebih fundamental. Yaitu, paradigma apa digunakan dalam upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan di negeri ini. Bagaimana kaitannya dengan paradigma Pancasila? Paradigma merupakan cara pandang (world view). 

Mestinya Pancasila menjadi spirit dari segala kebijakan yang ada. Contohnya di beberapa Undang-Undang (UU) dan regulasi yang dilahirkan. Beberapa UU yang ditetapkan, sepertinya tidak terlihat secara gamblang nuansa Pancasila di dalamnya. Nilai-nilai Pancasila tidak terinternalisasi secara utuh pada keseluruhan aturan dalam sebuah kebijakan. 

Padahal, Pancasila adalah modal bangsa yang merupakan bintang penuntun, yang dapat dijadikan paradigma dalam pembangunan dan pengelolaan lingkungan di Tanah Air. Sebab, permasalahan lingkungan hidup ini, sesungguhnya merupakan pertarungan antara berbagai paradigma yang ada. 

Karena dengan paradigma akan membentuk sikap dan perlakuan seseorang ketika berhadapan dengan bermacam problem dan kerusakan lingkungan. Menyelesaikan kerusakan lingkungan, tidak bisa hanya dengan menyelesaikan kasus demi kasus yang ada, tetapi lebih jauh daripada itu, yakni memperbaiki paradigma atau cara pandang yang ada pada manusia.

Prof. Seyyed Hossein Nasr, menyebutkan bahwa krisis lingkungan terjadi karena adanya krisis spiritual dan krisis eksistensial pada diri manusia modern. Yang memandang alam dan lingkungan terpisah dari kehidupan manusia. 
Pandangan ini, menunjukkan sebuah paradigma memperlakukan lingkungan hidup.  

Sekiranya Pancasila tidak berhasil kita posisikan sebagai paradigma dalam menghadapi kerusakan ekologi dan lingkungan di negeri ini, maka itu seakan-akan menegaskan pernyataan Prof. Kuntowijoyo bahwa selama ini, Pancasila dianggap efektif sebagai ideologi yang mempersatukan Indonesia secara politis, tetapi belum efektif sebagai ideologi ekonomi, sosial dan budaya. Mengapa? Karena kita masih memahami Pancasila sebagai sebuah mitos. Mistifikasi Pancasila pada akhirnya tak terelakkan. Jika hal ini terjadi, maka apa yang disinyalir Buya Syafi’i Maarif bahwa, “Nasib Pancasila itu, dimuliakan dalam kata, diagungkan dalam tulisan, namun dikhianati dalam perbuatan”, akan menemukan konteksnya.

Antusiasme peserta dalam Diskusi Ma’REFAT INFORMAL MEETING ini terlihat dari munculnya beberapa pertanyaan atau tanggapan dari peserta. Agenda ini dihadiri oleh peserta yang berasal dari berbagai kalangan baik dari akademisi, NGO, ASN, karyawan swasta serta mahasiswa.

(Bsr)